Yang Berilusi Bangkai Orde Baru Hidup Lagi Lebay
Oleh Miko Kamal
(Advokat dan Professional Lecturer pada Universitas Bung Hatta Padang)
Tulisan ini agak panjang. Maaf. Tapi, insyaallah bermanfaat untuk membangunkan teman, tetangga, isteri atau suami dan karib kerabat anda yang sedang berilusi.
—
Baru-baru ini banyak beredar soft flyer di media sosial yang berisi tentang peringatan kebangkitan Orde Baru (Orba) yang mewakili rezim otoritarian yang pernah ada dalam sejarah Indonesia. Ini efek kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) yang tinggal 2 bulan lebih sedikit. Saya tahu itu.
Calon Presiden Prabowo Subianto dipersepsikan sebagai figur yang siap meniupkan lagi roh Orba ke bangkai yang sudah lama mati itu jika diberi kesempatan berkuasa. Sebab, Prabowo berasal dari kelompok militer dan mantan menantu Soeharto, tokoh sentral Orba.
Tidak bisa dibantah, Orba memang keras. Demokrasi ditungkai. Berpendapat dan berkumpul tidak bebas. Jangan coba-coba tidak sejalan dengan penguasa. Hilang malam ujungnya.
Saya merasakan keadaan itu. Tahun 1994-1995 saya adalah Ketua Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Universitas Bung Hatta Padang. Tahun sebelumnya saya memimpin Senat Mahasiswa Fakultas Hukum. Senat Mahasiswa zaman saya setara dengan Badan Eksekutif Mahasiswa sekarang. Sebagai salah seorang penggerak kegiatan kemahasiswaan pada masa itu, saya merasakan benar bagaimana kerasnya Pak Harto dan anak buahnya. Mahasiswa tidak dibenarkan bicara sembarangan. Semua aktivitas mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) diawasi ketat.
Suatu kali, tepatnya tanggal 4 September 1995, Pak Harto datang ke Padang. Tujuannya meresmikan kampus Universitas Andalas di Limau Manih. Sehari sebelumnya saya dijemput oleh 2 orang intel dari Komando Resor Militer 032/Wirabraja di kampus Bung Hatta. Saya dan seorang teman aktivis Bung Hatta dibawa ke kantor tentara di Lapai. Saya ditanya-tanya tentang rencana kegiatan saya dan teman-teman berkenaan dengan rencana kedatangan Pak Harto. 2 (dua) hari itu, 3 dan 4 September, saya menjadi orang penting. Kedua intel itu tidak mau jauh dari saya. Malam sebelum kedatangan Pak Harto itu mereka mengajak saya dan untuk menghabiskan malam di tempat hiburan. Saya menolaknya. Karena menolak, mereka mengantarkan saya pulang ke rumah di Air Tawar dengan perjanjian besok ba’da Subuh saya harus ikut dengan mereka. Semalaman menjelang Pak Harto datang itu, saya nyaris tidak bisa tidur. Raungan sepeda motor yang sama dengan sepeda motor yang mengantar saya pulang terdengar jelas mondar-mandir di depan rumah.
Setelah Subuh pas, kedua intel itu menepati janjinya. Mereka datang menjemput, dan bersama saya sehari pentan. Mereka mengantar saya lagi pulang ke rumah, begitu di handy talky mereka terdengar kabar Pak Harto sudah naik ke pesawat untuk pulang ke Jakarta. Kawan-kawan aktivis lainnya di Padang waktu itu bisa jadi mengalami hal yang sama. Yang sudah menghilang dari Kota Padang sehari sebelum Pak Harto datang tentu tidak pernah mengalaminya.
Cerita menjadi ‘orang penting’ ketika Pak Harto datang tidaklah satu-satunya cerita pahit di masa Orde Baru. Banyak lagi cerita-cerita yang lain. Penggiat gerakan mahasiswa yang ada di bangku kuliah ketika kekuasaan berada dalam genggaman Pak Harto dan kroninya seangkatan saya di Padang seperti Indra Lubis, Rudi Rusli (Unand), Alm. Ridwan Jamal, Ikhwan Mansyur (Bung Hatta), Mu’rifin (IAIN Imam Bonjol) dan lain-lain pasti merasakan hal yang sama. Bahkan mungkin lebih. Kalau tidak, berarti saya memang lebih istimewa dari mereka…ha…ha…ha…
Keadaan ketika itu memaksa saya dan beberapa kawan yang aktif dalam gerakan mahasiswa malakok ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang. LBH Padang berada di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) besutan Dr. Buyung Nasution (kami memanggilnya Bang Buyung) dan kawan-kawan di Jakarta. Di LBH Padang waktu itu kami mendapatkan ‘perlindungan’ dari Uda Rahmat Wartira, Alm. Bang Rusdi Zen, Alm. Uda Khairus, Uda Zulkifli Jailani dan lainnya. Bukan apa-apa, waktu itu tidak ada kawan lain selain LBH yang berani bersuara lantang membela para aktivis. Inilah penyebab utama saya tersesat di jalan hukum dan penegakkannya sampai sekarang. Saya memimpin LBH Padang dari tahun 1997 sampai tahun 2000.
Di zaman Orba, semua kegiatan LSM tak pernah luput dari pantauan intel. Beringsut sedikit, aparat negara sudah bergerak mendahuluinya. Tuduhan rapat gelap biasa saja. Padahal rapat diadakan di siang hari. Kalaupun malam, rapat digelar di bawah cahaya terang lampu yang dialiri arus listrik.
Di ujung-ujung kekuasaan Pak Harto, sekira awal tahun 1996 atau akhir tahun 1995, saya diutus LBH Padang menghadiri pelatihan advokasi pertanahan di Medan. Waktu itu status saya sebagai relawan (volunteer) di LBH Padang. Saya diutus berdua dengan Alm. Ade Waldemar.
Sore itu kami check in di hotel tempat kegiatan akan diselenggarakan di Medan kota. Saya sudah lupa hotel apa. Malam pertama rencananya kegiatan dimulai dengan pendaftaran peserta dan perkenalan semua peserta. Tiba-tiba, panitia memberitahukan kepada kami peserta untuk tetap di kamar masing-masing karena kegiatan sudah diendus intel dan dini hari panitia akan memindahkan semua peserta ke sebuah tempat yang aman. Tengah malam buta kami dibangunkan untuk dievakuasi ke Berastagi. Sebelum waktu Subuh kami sudah sampai di Berastagi. Di Berastagi kami dimasukkan ke pusat pelatihan yang dikelola sebuah gereja. Untuk menghindar dari endusan intel, kami semua tidak dibenarkan ke luar dari kompleks pelatihan itu. Tapi apa hendak dikata, belum lagi pelatihan dimulai, tempat kami ‘bersembunyi’ sudah dikepung aparat keamanan bersenjata lengkap. Semua peserta yang rencananya akan belajar bagaimana mengadvokasi perkara pertanahan diperlakukan layaknya pelaku kriminal. Siang itu, semua kami ‘ditangkap’ dan diangkut ke kantor Polres Tanah Karo untuk dilakukan pemeriksaan. Semua diinterogasi secara bergantian. Dari siang sampai malam. Besoknya kami baru dilepas setelah pengacara senior Luhut Pangaribuan datang menjemput.
Kegiatan-kegiatan diskusi yang dibubarkan dengan dalih tanpa izin, tak terbilang banyaknya. Sudah menjadi air mandi kami waktu itu.
Mengapa keadaan itu bisa terjadi? Penyebabnya adalah pemerintahan yang sangat kuat beradu muka dengan rakyat yang amat lemahnya. Pemerintahan Soeharto kuat karena parlemen diseting sebagai lembaga negara yang tidak mampu bartarik urat leher dengan Pemerintah. Sebagaimana diketahui, masa itu, anggota parlemen diisi oleh utusan-utusan partai yang sudah dibongsai. Rezim Soeharto semakin digdaya karena topangan konsep Dwi Fungsi ABRI.
Pada sisi yang lain, posisi rakyat lemah karena waktu itu nyaris tidak ada perangkat yang mampu menyuarakan rintihan mereka. Pers tidak mandiri. Menyuarakan sedikit saja keluhan rakyat, ancamannya bredel. Nyawa lembaga pers ada di tangan pemerintah. Pilihan terbaik dan logis lembaga pers kala itu tentu adalah bungkam.
Musim sudah berganti. Sistim partai yang dibongsai tidak ada lagi. Sudah digantikan sistem multi partai. Dwi Fungsi ABRI sudah dihilangkan. Pers sudah bebas sebebasnya. Apapun diberitakan. Tidak perlu takut ada pembredelan karena memang rezim perizinan pers sudah dilenyapkan. Dan, yang paling menguatkan posisi rakyat berhadapan dengan penguasa adalah revolusi teknologi informasi yang melahirkan media sosial. Sederhananya, peran media massa mainstream tidak lagi terlalu sentral dalam menggaungkan kepentingan rakyat. Pasalnya, tidak puas dengan media cetak, dalam hitungan detik rakyat bisa bikin media sendiri secara daring. Tidak suka dengan tv resmi, rakyat tinggal mengadu ke youtube untuk dibuatkan tv sendiri. Begitu benar berubahnya dunia.
Jadi, masih takut dengan hantu otoriterian jika Prabowo yang berlatar belakang militer naik ke tampuk kekuasaan? Anda yang menjawab ‘yes’, saya pastikan anda lebay. Keadaan sudah berubah. Seperti yang kita rasakan hari ini, siapapun yang berkuasa tidak akan bisa menjalankan kekuasaan seenak perutnya seperti pada era Orba dulu.
Anda yakin Prabowo akan mampu memutar jarum 180 derajat dari posisi sekarang? Anda percaya Prabowo akan membongsai lagi partai-partai menjadi 3? Anda yakin Prabowo akan mengembalikan Dwi Fungsi ABRI? Berdetakkah hati anda Prabowo akan membredel media massa pengkritiknya atau media yang menyuarakan kepentingan rakyat banyak? Anda yakin Prabowo akan menutup akses Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Instagram ketika rakyat menyuarakan rintihan mereka melalui media sosial itu? Anda percaya Prabowo akan menutup kanal Youtube manakala rakyat membuat tv sendiri karena tv mainstream hanya menjadi corong Pemerintah? Jika iya, lebay benar anda.
-Habis-
—————–
Berpikir Orde Baru sudah selesai, adalah orang yang tidak mengerti sejarah
Oleh Joni Sujarman
(Warga Negara Indonesia)
Tulisan ini tidak panjang. Maaf. Tapi, Insyaallah mencerahkan untuk membangunkan teman, tetangga, isteri atau suami dan karib kerabat anda yang sedang amnesia sejarah.
Pertama, beberapa paragraph awal, saya menagkap tulisan saudara Miko Kamal, tak lebih dari sekedar menceritakan heroism beliau.
Bagi saya, menyangkut soal heroism ini sangatlah berbeda, dan perbedaan itu sangatlah prinsip.
Bagi saya, heroism adalah milik massa rakyat, heroism adalah milik massa aksi. Karena sejatinya, massa aksi itu lah yang melakukan perlawanan untuk perubahan. Begitu pula dalam sejarah perlawanan terhadap Orde Baru, termasuk sejarah pergerakan ’98, heroism bukan lah milik seseorang, sekelompok orang, suku, agama ras, golongan tertentu, organisasi tertentu, institusi tertentu.
Sekali lagi, heroism milik massa aksi. Massa aksi lah yang punya hak menilai sejauh dan sedalam apa keterlibatan seseorang dalam menentukan proses pergerakan perlawanan, baik menentukan strategy dan tactics dan perlawanan itu sendiri. Jadi kalau ada yang menceritakan soal heroism nya sendiri, bagi saya tak ubah nya sedang “ngeloco”.
Kedua, bagi saya, tanda-tanda kebangkitan Orde Baru bukan lah akibat dari effects kontestasi Pemilihan Presiden seperti yang juga ditulis saudara Miko pada bagian awal paragraph. Bagi Miko, seolah-olah ini adalah by moment.
Bagi saya, saudara Miko sangat keliru sekali. Bagi saya, kebangkitan Orde Baru ini adalah by design.
Ingat slogan “Piye kabare Bro…?”, “Isih penak jamanku to…?”. Kalimat itu sejak 2012 banyak tertulis di bagian belakang truk, lengkap dengan gambar mendiang Diktator $oeharto sambil mengangkat tangan. Semakin lama, penyebaran kampanye semakin masif dan sistimatis. Diktator Orde Baru itu seolah ingin kembali menyapa rakyat Indonesia.
Saya pribadi menilai fenomena kemunculan gambar Diktator Soeharto merupakan upaya terencana dan ini betul-betul didesain secara serius untuk menghapus sejarah dosa-dosa Orde Baru itu. Cara-cara seperti ini, adalah seperti yang dilakukan Hitler dalam merebut hati pemilih. Dalam karyanya sendiri, Mein Kampf, Hitler mengusulkan agar kampanye dibatasi pada isu yang bersifat emosional dan dikemas dalam kosakata politik yang sederhana dan mudah diingat. Selain itu, pesan yang biasanya membidik emosi khalayak diulang sebanyak mungkin. Akibat memanfaatkan dari kemajuan teknologi, seperti memanfaatkan sosial media, kerja-kerja kampanye Orde Baru ini menjadi mudah.
Ketiga, Saudara Miko musti membaca sejarah bagaimana Hitler hanya dalam dalam 18 bulan, tanpa kursi mayoritas di parlemen, mampu mengubah Jerman dari negara Demokrasi menjadi totaliter.
Pada pemilu 1926 partai bentukan Adolf Hitler, NSDAP, cuma dipilih oleh 800.000 penduduk (2,6%). Namun pada September 1930, pendukung kaum fasis berlipatganda menjadi 6,4 juta pemilih (18,3%). Mengapa? Ketika, 30 Januari 1933 Hitler dilantik sebagai Kanselir. Ia lalu meminta Presiden Paul von Hindenburg buat membubarkan parlemen lantaran kebuntuan politik menyusul tidak adanya kekuatan mayoritas di parlemen. Permintaannya dikabulkan. Pada pemilu 1933 Hitler menggunakan kekuasaanya untuk menekan musuh-musuh politiknya. Pemilu tidak lagi bebas dan NSDAP menjelma menjadi kekuatan tunggal di parlemen.
Fenomena berkuasa nya Donald Trump, sebagai sosok yang bersifat ultra nationalist, juga tak terbendung karena memanfaatkan emosional masyarakat melalui penggunaan kampanye di media sosial.
Keempat, regime Orde Baru itu adalah watak yang menindas, watak Korupsi, watak Kolusi, watak Nepotisme. Sekali lagi ini adalah watak, karakter. Watak dan karakter ini lah yang selama masa kekuasaan 32 tahun dipupuk sehingga telah tumbuh berakar dan berurat dalam sendiri kehidupan bangsa ini. Menghapus dan menyelesaikannya tentu tidak dapat sebentar. Lalu pertanyaan mendasar adalah, apakah kita begitu demikian bodoh bin tolol percaya dan menyerahkan kembali kepada Orde Baru Connection, melalui Prabowo sebagai ujung tombak nya, untuk menyelesaikan kasus-kasus penindasan? Apakah kita bodoh bin tolol percaya dan menyerahkan kembali negara bangsa ini dirampok dan dijarah kepada Regime yang 32 tahun kerja nya merampok kekayaan bangsa ini.
Kelima, soal media dan pers. Ini soal siapa yang mengendalikan opinion dan emosi. Banyak berita-berita tanpa kebenaran, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kaidah dan etika jurnalisme, dipublish secara sistimatis ke khalayak umum dan beredar seolah-olah menjadi sebuah kebenaran.
Jadi saudara Miko adalah naif dengan berargumen masyarakat akan dapat membentengi diri nya sendiri melalui media sosial seperti what app, you tube, facebook, Instagram, twitter, dan lainnya.
Desain melalui media sosial saat ini prinsip utamanya adalah era dimana terjadi pengrusakan mekanisme solidaritas sosial. Kondisi ini sama dengan seperti ketika awal-awal Orde Baru berkuasa. Bagi Orde Baru, penyembuh Indonesia bukan lah demokrasi. Tapi hilang kan demokrasi, perkuat stabiltas. Rakyat harus menurut mereka. Artinya rakyat harus dikembalikan menjadi pasif dan patuh, dan dengan itu, seolah-olah demokrasi akan baik-baik saja.
Bagi saya, Orde Baru Connection yang saat ini sudah terkonsolidasi pada kelompok Prabowo, adalah fakta sedang bergerak melakukan straight back to take the power dengan sangat sistimatis.
Tugas kita sebagai kaum pergerakan adalah mengingatkan dan memperingatkan mereka, rakyat banyak, bahwa jangan memilih Prabowo.
Ketika mereka memilih Prabowo maka sesungguhnya bencana demokrasi sedang mereka buat.
Dalam berpolitik, seringkali mengabaikan fakta, ilmu pengetahuan atau logika. Sehingga masyarakat menjadi mundur. Padahal sesungguhnya fakta, ilmu pengetahuan dan logika memerlukan politik untuk bisa memajukan masyarakat.
Salam
Ide Chief of Law Enforcement Officer Tidak Salah
Oleh Miko Kamal
(Pengamat Hukum, Professional Lecturer pada Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta)
Pada debat pertama 17 Januari lalu, calon presiden 02 Prabowo menyampaikan ide Chief of Law Enforcement Officer (CLEO). Dalam bahasa Indonesia sebut saja sebagai panglima petugas penegakan hukum.
Ide CLEO mendapat tanggapan dari banyak pihak. Kubu 01 dan beberapa pengamat menyebut ide Prabowo ini sebagai sesuatu yang membahayakan demokrasi. Ide ini dianggap sebagai wujud keinginan Prabowo-Sandi menghidupkan lagi sistem otoritarianisme. Membangunkan lagi mayat orde baru sudah lama tidur.
Meskipun sudah 4 kali dilakukan amandemen, konstitusi kita masih menegaskan bahwa negara kita adalah negara hukum. Bunyi lengkapnya, ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’ (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Hukum sebagai panglima. Bukan yang lain.
Dimana posisi pemerintah dan/atau kepala pemerintahan dalam konsep negara hukum? Pemerintah bekerja atas orderan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum. Hukum adalah benda mati. Hukum tidak berarti apa-apa tanpa usaha keras dan serius petugas-petugasnya. Salah satu petugasnya adalah pemerintah di bawah kendali presiden. Singkatnya, presiden adalah petugas yang bertanggung jawab memastikan hukum tidak hanya sekadar tumpukan tinta-tinta hitam di atas kertas putih.
Apakah penegakan hukum hanyalah tugas pengelola cabang kekuasaan yudikatif saja? Jawabannya sama sekali tidak. Kerja penegakan hukum adalah kerja bersama cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Eksekutif main di pangkal. Yudikatif menyelesaikannya di ujung. Ujung tidak ada jika pangkalnya tidak jelas. Sudah pasti yang di ujung tidak akan punya kerjaan jika proses kerjanya tidak dimulai di pangkal. Makanya, pada struktur penegakan hukum, polisi dan jaksa berada di bawah atau merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bukan merupakan bagian dari yudikatif. Begitulah konsepnya.
Pada tataran praktis, soal besar penegakan hukum kita ada pada pangkalnya. Ujung (yudikatif) juga, tapi dominannya di pangkal. Polisi dan jaksa tidak bekerja maksimal. Pekerja pada cabang kekuasaan yudikatif mungkin sudah galigaman untuk segera menokokkan palunya kuat-kuat ke meja hijau terkait kasus-kasus yang menyita perhatian publik. Namun, apa hendak dikata. Mereka tidak bisa melakukan itu karena berkas dan terdakwa kasus-kasus itu tidak kunjung mampir ke meja mereka.
Sekadar contoh, dalam kasus Novel Baswedan, bagaimana pula kita mengharapkan hakim-hakim di pengadilan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada pelaku yang sangat biadabnya menyiramkan air keras ke muka Novel itu manakala polisi dan jaksa tidak kunjung menuntaskan pekerjaan mereka; lidik, sidik dan tuntut.
Apa sebab polisi dan jaksa tidak maksimal? Menurut saya, itulah yang hendak ditegaskan oleh pasangan 02. Presiden sebagai CLEO hendak memastikan bahwa aparatur penegak hukum di bawahnya bekerja maksimal. Pasangan 02 nampaknya paham benar bahwa ujung penegakan hukum tidak pernah baik jika pangkalnya tidak baik. Pada poin ini, Presiden memosisikan diri sebagai panglima yang memastikan petugas penegakan hukum yang berada di bawahnya bekerja maksimal.
Jadi, secara konstitusional, saya menangkap ide CLEO merupakan turunan dari konsep besar ‘Negara Hukum’ yang menempatkan Presiden petugas konstitusi yang memastikan petugas penegak hukum di bawahnya bekerja secara sungguh sesuai dengan hukum yang berlaku. Presiden bukan petugas partai.
Apakah ide CLEO akan mengembalikan negara kita ke sistem otoritarianisme layaknya zaman orde baru? Ini ketakutan yang dilebih-lebihkan, bahkan mengada-ada. Bagaikan takut dikejar hantu di siang bolong. Zaman sudah berubah. Semua serba transparan. Kontrol media (apalagi media sosial) sangatlah ketatnya. Hukum yang tersedia juga amatlah lengkapnya.
Dalam bingkai ‘Negara Hukum’, tidak ada yang salah dengan CLEO.
– Habis –
Joe Wisesa : Capres Prabowo menginginkan bahwa kepala Negara yang bisa mewujudkan sosok penegak hukum tertinggi atau chief of law enforcement, seperti yg pernah praktekan oleh presiden Soeharto, mertua Prabowo.
Sumber : Group WA Minangkabau Connection, 12-13 Februari 2019